Batu Bara

Harga Batu Bara Tak Banyak Bergerak, Industri Tetap Optimistis

Harga Batu Bara Tak Banyak Bergerak, Industri Tetap Optimistis
Harga Batu Bara Tak Banyak Bergerak, Industri Tetap Optimistis

JAKARTA - Industri batu bara global diperkirakan belum akan keluar dari tekanan pada tahun 2026. 

Meski kebutuhan energi dunia tetap tinggi, berbagai faktor seperti melemahnya permintaan, kebijakan energi bersih, serta ketidakpastian geopolitik membuat prospek harga batu bara sulit menanjak.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Gita Mahyarani, menilai bahwa tren harga batu bara masih akan cenderung stagnan. Ia menjelaskan bahwa pergerakan harga sangat bergantung pada tingkat kalori batu bara serta kebutuhan pasar global.

“Kalau saya lihat, mungkin agak-agak mirip sama 2025 di akhir-akhir tahun ini. Apakah ada peningkatan signifikan? Enggak juga karena harga komoditas, terutama batu bara, ini sangat ditentukan oleh permintaan itu sendiri,” ujar Gita.

Menurutnya, pasar ekspor utama seperti China masih menjadi tumpuan penting bagi batu bara Indonesia, meskipun negara tersebut kini meningkatkan produksi domestiknya. 

Namun secara keseluruhan, Gita menilai tidak ada tanda-tanda perubahan signifikan pada harga batu bara, kecuali terjadi gejolak besar seperti konflik Rusia-Ukraina yang memicu lonjakan harga global.

“Jadi, saya rasa untuk batu bara sih belum akan menurun tajam juga enggak karena ini masih dibutuhkan,” katanya.

Tekanan Biaya Produksi Jadi Tantangan Baru

Selain dari sisi permintaan, pelaku usaha batu bara dihadapkan pada tantangan baru di level biaya produksi. Sekjen APBI, Haryanto Damanik, menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah yang mendorong penggunaan campuran biodiesel B50 berdampak langsung pada kenaikan biaya bahan bakar operasional.

“Kenaikan campuran biodiesel membuat biaya bahan bakar naik sekitar US$1–2 per ton, yang pada akhirnya menekan margin keuntungan perusahaan tambang dan penerimaan negara,” ungkapnya.

Menurut Haryanto, kebijakan tersebut perlu dikaji secara menyeluruh karena berpotensi mengurangi penerimaan pajak negara dan mendorong peningkatan royalti. “Kebijakan ini dilihat secara menyeluruh, tidak hanya dari sisi pengurangan subsidi, tetapi juga dampaknya terhadap industri dan penerimaan negara,” tambahnya.

Ia juga menyoroti perlunya evaluasi formula harga batu bara acuan (HBA). Selama 2025, terjadi perbedaan cukup besar antara HBA dan harga pasar aktual yang menyebabkan beban royalti lebih tinggi bagi perusahaan. APBI mengusulkan formula baru dengan komposisi 51% harga historis dan 49% indeks pasar agar selisih harga dapat ditekan menjadi sekitar US$2–3 per ton.

“Tujuannya agar perhitungan royalti lebih adil dan stabil, mengikuti dinamika pasar yang sebenarnya,” tutur Haryanto.

Regulasi RKAB dan Blending Batu Bara Dinilai Kurang Fleksibel

Selain faktor biaya, pelaku usaha juga menyoroti kebijakan pemerintah dalam hal persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). S

istem RKAB tahunan dianggap belum efisien dan tidak cukup fleksibel untuk mengakomodasi praktik blending batu bara, yaitu proses mencampur batu bara dengan kualitas berbeda guna memperoleh harga jual yang lebih kompetitif.

Menurut APBI, praktik blending justru dapat meningkatkan penerimaan negara karena menghasilkan nilai jual lebih tinggi. Namun, sistem administrasi yang ada dinilai belum mendukung praktik tersebut.

Pasar batu bara global sendiri masih menunjukkan tanda-tanda kelesuan pascapandemi, dengan fluktuasi harga lebih disebabkan oleh gangguan pasokan (supply disruption) daripada pemulihan permintaan. 

Gita menegaskan bahwa tren positif yang terjadi di akhir tahun bersifat musiman dan belum mencerminkan perbaikan fundamental di sisi permintaan.

Proyeksi Analis: Harga Batu Bara Cenderung Melemah

Dari sisi analis pasar, pandangan serupa datang dari Andrew, analis energi di Argus Media. Ia memperkirakan harga batu bara global masih akan bergerak melemah, meskipun potensi penurunan lebih lanjut sudah terbatas.

“Kalau dilihat dari sisi harga, kami di Argus melihat arahnya masih cenderung melemah. Tapi sepertinya harga sudah mencapai titik dasar, dan kita sudah melewati masa terburuk dari harga rendah,” jelasnya.

Menurut Andrew, arah pergerakan harga batu bara ke depan akan sangat bergantung pada perkembangan dua negara konsumen utama dunia, yakni China dan India. Keduanya berperan besar dalam menentukan volume permintaan global dan kestabilan harga.

Selain faktor permintaan, ketegangan geopolitik juga menjadi variabel penting. Rusia, misalnya, masih menjadi faktor ketidakpastian besar di pasar batu bara dunia. “Salah satu hal yang belum pasti adalah kondisi Rusia. Dengan situasi geopolitik saat ini, Rusia jelas berada di luar pasar,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa Amerika Serikat dan Inggris baru-baru ini memperketat sanksi terhadap ekspor batu bara Rusia, yang semakin membatasi ruang gerak negara tersebut di pasar global. “Pekan lalu, baik Inggris maupun Amerika Serikat mengambil langkah terhadap Rusia, yang tentu saja membatasi ekspor mereka,” tambahnya.

Meski demikian, produsen Rusia dinilai cukup berhasil mengalihkan pasokannya ke pasar Asia, terutama ke China. “Produsen Rusia cukup berhasil mengalihkan sebagian besar kelebihan pasokan mereka setelah larangan batu bara oleh Uni Eropa. Sekarang kami melihat semakin banyak batu bara Rusia yang masuk ke China,” katanya.

Pasar 2026 Bergerak Hati-Hati

Dengan berbagai faktor tersebut, pasar batu bara global pada tahun 2026 diperkirakan masih akan bergerak hati-hati. Arah harga sangat bergantung pada pemulihan permintaan Asia dan dinamika politik internasional.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2025, indeks harga komoditas energi turun 0,55% (month-to-month) dan 8,15% secara tahunan (year-on-year). Penurunan ini terutama dipicu oleh turunnya harga minyak mentah dan batu bara, di mana batu bara sendiri tercatat turun 5,20% secara bulanan dan 23,62% secara tahunan.

Dengan kondisi tersebut, pelaku industri perlu menyiapkan strategi efisiensi dan diversifikasi pasar agar tetap bertahan di tengah ketidakpastian.

Kinerja industri batu bara tahun depan akan banyak ditentukan oleh kebijakan energi global, stabilitas geopolitik, serta kemampuan pelaku usaha beradaptasi terhadap biaya dan regulasi baru. 

Meski permintaan tetap ada, harga batu bara kemungkinan masih akan bergerak datar, dengan ruang pemulihan yang terbatas hingga situasi ekonomi dan politik dunia menjadi lebih pasti.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index