JAKARTA - Setelah mencatat penguatan selama empat bulan berturut-turut dari Juli hingga Oktober 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi menghadapi koreksi pada November.
Sejarah menunjukkan pola serupa pada tahun 2017 dan 2021, ketika IHSG yang sempat menguat empat bulan berturut-turut justru melemah pada November masing-masing 0,89% dan 0,87%, sebelum kembali pulih pada Desember menyambut window dressing.
Koreksi ini bukan berarti alarm bagi investor, melainkan peluang membeli saham fundamental yang harganya sedang diskon. Dengan pemilihan saham tepat, investor bisa memanfaatkan volatilitas untuk meningkatkan portofolio dengan risiko terkendali.
- Baca Juga Cara dan Syarat Kredit Laptop di Erafone
Faktor Internal dan Global yang Memengaruhi Volatilitas
Beberapa sentimen kunci diperkirakan memengaruhi pergerakan IHSG sepanjang November 2025. Salah satunya adalah rebalancing indeks MSCI yang diumumkan pada 5 November dan berlaku efektif mulai 25 November. Perubahan konstituen ini biasanya memicu fluktuasi pada saham yang masuk atau keluar dari indeks.
Saham seperti PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dan PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) diprediksi masuk indeks, sementara saham besar seperti PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), dan PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) berpotensi turun kelas.
Hal ini dapat memicu tekanan jual atau foreign outflow, terutama dari dana indeks global yang menyesuaikan portofolio.
Selain itu, ketiadaan rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada November 2025 menambah ketidakpastian arah kebijakan moneter AS. Meski minutes FOMC rapat Oktober akan dirilis pada 19 November, pasar tidak mendapat sinyal baru untuk pemangkasan suku bunga, sehingga meningkatkan risiko IHSG bergerak sideways atau terkoreksi.
Dampak Shutdown AS dan Sinyal The Fed
Shutdown pemerintah AS yang terjadi pada 1 Oktober 2025 menunda rilis data ekonomi penting, mulai dari inflasi hingga lapangan kerja, yang membuat pelaku pasar kesulitan memproyeksikan langkah The Fed.
Ketidakpastian ini mendorong investor memilih aset aman (safe asset) dan menekan aliran modal ke pasar berkembang, termasuk Indonesia.
Kekhawatiran bahwa The Fed tidak akan melanjutkan pemangkasan suku bunga pada Desember 2025 menjadi faktor tambahan. Jika pasar menilai The Fed masih hawkish, ekspektasi suku bunga tinggi bertahan lebih lama, sehingga valuasi saham tertekan.
Sebaliknya, jika ekonomi AS rapuh, risiko resesi meningkat dan laba perusahaan global diproyeksikan turun, yang berdampak pada IHSG.
Di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) baru saja menahan suku bunga pada 22 Oktober 2025. Sikap BI yang wait and see mencerminkan kehati-hatian menghadapi ketidakpastian global, sekaligus menjaga stabilitas rupiah.
Jika kondisi eksternal tetap risk-off, BI kemungkinan tetap menahan suku bunga hingga ada kepastian likuiditas dan arus modal asing.
Saham Fundamental Sebagai Peluang
Koreksi IHSG di November justru membuka peluang bagi investor untuk membeli saham dengan fundamental kuat. Kriteria saham yang disarankan meliputi:
Cash flow tinggi
Pertumbuhan laba konsisten
Pembagian dividen rutin
Valuasi wajar dan kapitalisasi pasar likuid
Dengan memilih saham-saham tersebut, investor bisa mengantisipasi volatilitas jangka pendek sekaligus membangun portofolio yang tangguh untuk jangka panjang.
Investor disarankan memantau saham-saham yang berpotensi masuk MSCI untuk foreign inflow, sekaligus memperhatikan saham yang keluar atau turun kelas untuk mencari peluang beli pada harga diskon. Pendekatan ini bisa meminimalkan risiko koreksi IHSG sekaligus memaksimalkan potensi keuntungan di akhir tahun.