JAKARTA - Proses negosiasi tarif resiprokal antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) hingga kini belum menemukan titik terang.
Pemerintah Indonesia masih menunggu konfirmasi resmi dari otoritas AS terkait jadwal lanjutan pembahasan, di tengah upaya memastikan posisi tawar nasional tetap kuat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, perundingan tidak bisa dilakukan terburu-buru. “Kita sedang bicarakan mengenai waktu, karena dalam waktu dekat juga ada G20,” ujarnya di Istana Kepresidenan.
Negosiasi tarif ini dianggap strategis bagi Indonesia, terutama dalam menjaga daya saing produk ekspor unggulan di pasar Amerika Serikat.
Menunggu Jadwal Resmi dari AS
Airlangga menambahkan, agenda pembahasan tarif resiprokal akan dilanjutkan setelah kedua pihak sepakat pada waktu yang tepat. Salah satu pertimbangan utama adalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang akan digelar di Afrika Selatan.
“(Akan dibahas saat G20?) Belum, kita masih bicarakan mengenai jadwal negosiasi dulu,” tegas Airlangga. Pernyataan ini menegaskan bahwa meskipun target penyelesaian awal ditetapkan, pemerintah memilih langkah hati-hati agar hasil negosiasi optimal.
Kondisi ini juga menunjukkan bahwa Indonesia menempatkan kepentingan nasional di atas kecepatan proses, terutama untuk produk-produk yang menjadi unggulan ekspor ke AS.
Target Selesai Negosiasi di November 2025
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Budi Santoso menargetkan perundingan tarif resiprokal bisa rampung pada November 2025. “Ya, bulan ini, November,” ujar Budi saat ditemui di Jakarta.
Budi menjelaskan, proses perundingan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menjaga posisi tawar Indonesia. Tujuannya agar tarif balasan yang diterapkan AS tidak merugikan produk-produk ekspor unggulan nasional.
“Kita ingin produk-produk kita yang tidak diproduksi oleh Amerika, tetapi diekspor ke sana, mendapatkan 0 persen,” ungkap Budi. Dengan kebijakan tarif ini, Indonesia berharap bisa meningkatkan daya saing ekspor sekaligus memperluas akses pasar.
Strategi Indonesia dalam Negosiasi Tarif
Pemerintah menekankan bahwa negosiasi tarif bukan sekadar formalitas, melainkan strategi untuk melindungi kepentingan industri nasional. Produk-produk tertentu di Indonesia yang tidak tersedia di AS menjadi prioritas dalam mendorong tarif resiprokal 0%.
Selain itu, pemerintah juga mempersiapkan sesi perundingan lanjutan pekan depan dengan otoritas AS untuk membahas detail kesepakatan. Langkah ini menunjukkan keseriusan Indonesia dalam menjaga agar hasil negosiasi memberikan manfaat maksimal bagi perekonomian.
Keputusan untuk tidak tergesa-gesa juga menegaskan bahwa negosiasi ini tidak hanya soal angka tarif, tetapi bagaimana kebijakan ini bisa mendorong ekspor nasional secara berkelanjutan.
Dampak Negosiasi terhadap Ekspor Indonesia
Jika tercapai kesepakatan tarif yang menguntungkan, sejumlah produk ekspor Indonesia berpotensi memperoleh akses lebih kompetitif ke pasar AS. Hal ini sejalan dengan strategi pemerintah untuk memperkuat posisi Indonesia di pasar global, terutama untuk produk yang unik dan tidak diproduksi oleh AS.
Budi menambahkan, setiap keputusan dalam negosiasi akan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang dan keberlanjutan perdagangan antara kedua negara. Strategi ini diharapkan dapat meningkatkan volume ekspor, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Negosiasi tarif resiprokal Indonesia-AS masih tertunda karena pertimbangan jadwal dan kesiapan kedua pihak. Pemerintah menekankan bahwa pembahasan dilakukan secara hati-hati, dengan fokus menjaga posisi tawar Indonesia dan mendorong tarif 0% untuk produk unggulan.
Meski target awal ditetapkan pada November 2025, proses negosiasi tidak akan tergesa-gesa. Strategi ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk memperkuat daya saing ekspor, sekaligus menjaga hubungan perdagangan yang berkelanjutan dengan Amerika Serikat.